Entri Populer

Minggu, 20 Desember 2015

CERMIN JIWA



Aku sangat mengenalmu, hanya terpaut satu kedipan mata dari seorang ibu yang melahirkanmu.
Dari hitungan pertama sampai bilangan tak terjabarkan, dunia ini tetap sama,
hanya engkau dan aku di atasnya.
Tak ada yang sanggup membatasi senyum di antara kita,
bahkan nasib buruk sekalipun akan kehilangan kuasanya jika ia datang dan mencobanya.
Siapa yang pernah hidup seperti itu, bisa  tertawa lepas saat air mata sudah di depan wajah.
Menenggelamkan mimpi buruk dalam waktu yang begitu rumit dan bertahan ketika harapan sudah tak bisa lagi di rangkul dengan emosi.
Kita adalah dedaunan yang selalu memilih melawan angin, tak banyak pilihan
"terbuang atau terbang"...


       Tiap kali kugerus tanah kelahiran orang orang asing, aku selalu merajut namamu di atas menara agung kemanusiaan , tempat yang tak seorang pun memiki kenangan di sana.
Nyanyian kedamaian adalah satu satunya surat yang engkau simpan untukku, sampai saat ini telah ribuan kali ku kumandangkan kepada seluruh penjuru kabut dunia.
Kita yang sudah cukup lama tak bersua, kini mulai memudarkan lentik bulu mata dan mempermainkan saraf akal sehat.
Jemari yang selalu bertepuk, lidah yang melengking tajam dan pesona wajah purnama adalah harga yang telah engkau berikan.
Begitu istimewa, taman babilon tak mungkin bisa sebanding dari semua itu.


      Apa artinya kaki bila satunya tersimpan dalam tungku api, jauh dari masa yang terikat.
Bukankah dua telinga lebih baik, akan ada kebenaran dan dosa menari hebat dalam nurani.
Kita adalah pelakon yang terbuang,
Selalu tersandung cinta dalam rumah yang sama.
Mulai menyembunyikan rasa bersalah lalu memberanikan diri menipu kampung halaman.

       Ku teteskan darahku, lalu ku alirkan kemana arah janji membawanya.
Ku kembalikan kepadamu wajah wajah kekasih yang pernah membawa cerita naif untuk kita.
Rindu semu, dan memori tak bertuan.
Benar benar sampul kemenangan yang tak butuh penghargaan.


       Aku takjub, dunia telah membuat kita tidur di antara badai dan musim semi.
Kita berada di jalan yang sama, meski harus berseberangan di persimpangan yang kejam.
Tapi sekali lagi, dunia adalah milik kita.
Kemanapun engkau hadapkan punggungmu, engkau tidak akan pernah menemukanku di sana.
Tapi aku akan selalu berdiri selangkah di depan mimpi mimpimu.
Mencoba menjaganya agar tetap bisa berdamai dengan takdir, kemudian aku akan menyambutmu dengan segelas anggur tua yang hangat.


       Periksalah sekali lagi gemulai rumpun awan di atas kepalamu.
Di sana, engkau akan mendapati kabar tentang rahasia kita.
Coretan yang penuh tanda tanya, seperti sepeda tua berkeliling tengah malam dalam jantung perkimpoian.
Kita akan berkeliaran sepanjang kegelapan mencari jejak para pendahulu, mencoba memperbaiki drama agar terlihat lebih mustahil dan sampai saat ini, bayangan itu tetap abadi.

Belantara hijau, saksi dari tragedi langit taurus. Mengayuh perahu kecil demi sebuah asa menyambung hidup,
Demi harga diri, demi waktu yang terbuang percuma dan demi kemewahan dunia yang memabukkan.
Kita pernah di sana, menguras urat tangan dan mengusir rasa takut,
Membagi kemiskinan antara telunjuk dan detak jantung,
Mengulas habis kehebatan petuah petuah kuno,
Sampai kita tertidur pulas,
sampai mimpi tidur berulang kali mengganggu, sampai pagi datang dan muara anak sungai adalah penyambut jiwa yang tak terlupakan.

   
Di saat pohon mengeluarkan wangian seperti zaitun,
Ketika dinding rumah  menyapa dengan bau besi berkarat,
Engkau telah menjadi cermin jiwa yang hilang.
Tanpamu, tak bisa kulihat wajahku.
Di tubuh yang sudah mulai usang, di ujung simbol tangan Tuhan yang telah renggang, aku berikrar atas kalimat kalimat ini.

"Realita daratan timur telah mengawetkan perjalanan hidup kita hai, Sang Pencerah"...!!!

Tidak ada komentar: