Entri Populer

Kamis, 17 Desember 2015

HUJAN TAKKAN PERNAH BISA SEMBUNYIKAN AIR MATA



    Di jalan ini, di bawah teduh selimut embun aku akan bercerita tentang rasa malu kepada rindu.

Rasa yang selalu mengendap, menghilang kemudian datang seperti penyakit jantung yang telah sekarat.

Waktu yang dulu putih, menjadi jingga lalu bertebaran bagai debu di halaman gubuk para syirian.

Kita yang harus bercucuran peluh ubun ubun hanya untuk sebuah persandingan kepercayaan, lalu membandingkan diri dari kursi kursi para penjudi kemegahan yang penuh sandiwara.

Dan lihatlah, ini adalah rencana yang tak pernah kita tulis dalam lontar manapun.

Akhirnya engkau dan aku jugalah yang harus menjaga garis dunia ini, terpisah ribuan kaki di bawah langit langit padang bulan.

Namun segalanya selalu ada batas hai khair, selalu ada nada yang tak mampu engkau ucapkan dari lidah dan rongga jantungmu, semua sisi hanyalah dinding yang tinggal menunggu waktu untuk hancur dan berkeping keping.



     

      Perlahan ku kumpulkan alur masa lalu yang tak terperihkan kenangannya, lalu mencoba menerima betapa rasa cinta memang tak layak mendapatkan belas kasih dari kita.

Engkau yang selalu dibiasakan oleh rasa manja gemulai , gelak tawa yang tak pernah terdengar dari wajah mana pun  dan malam yang tak pernah menghilang dari nostalgia itu.

Di hatimu dan bukumu selalu ada jemari yang mengepal dalam doa untukku, berharap dan  meneteskan barisan air mata hanya untuk perasaan yang sama.

Aku mengerti, aku mengerti betapa Tuhan telah merampas cermin jiwa kita, menggantinya dengan perasaan bersalah yang pada akhrinya harus berujung penyesalan seumur hidup.



     Mungkin sebagian dari mereka percaya bahwa takdir adalah meskipun kamu berdiri di tempatmu, akan ada seseorang yang datang kepadamu kemudian menyerahkan cintanya atas cintamu, berjalan di sampingmu siang dan malam lalu menutup mata di bawah matamu.

Tapi semua itu bohong, mana mungkin hujan turun tanpa awan, sejak kapan mereka bisa melihat bintang tanpa langit, akan seperti apa malam tanpa kegelapan embun di tengah rimbun kedamaian...???



      Aku melihat, semakin tua mereka maka semakin mereka meninggalkan keindahan yang baru mencuat di pergumulan.
padahal mereka hidup bergerak meninggalkan masa lalu, tapi tidak sedikit dari mereka yang ingin menghabiskan waktu dan kesenangan untuk mencari memorial itu.

Mengapa mereka ingin kembali...??

Ada apa di masa lalu itu...???

   
       Khair, dengar dan lihatlah lidah serta telinga mereka yang diciptakan untuk menjadi benalu kehidupan.

Merekalah yang ingin kembali ke masa lalu untuk menghapus kesalahan yang tak termaafkan.

Kembali untuk menghibur diri dari nestapa dunia dan parodi cinta di hati mereka.

Kembali untuk menawar karma yang sudah menjalar di sekujur tubuhnya.

Mereka ingin kembali ke masa lalu untuk tidak pernah kembali lagi ke sini, tempat yang tak layak lagi untuk mereka ceritakan kepada siapapun.



     Lalu, kemana aku akan membawa lukisan wajahmu ini...???

Apakah engkau bisa menungguku di tempat yang tak sedikitpun ada angin berbisik, tempat yang bisa engkau temukan bunga sakura di musim dingin, tempat dimana rumput sudah tak lagi hidup di bawah kaki kaki manusia pelupa.

Aku ingin engkau tetap di sana, hidup dan menungguku sekali lagi untuk berdiri di sampingmu bersama payung kecil di bawah hujan rintik.

Aku ingin menjadi kita, menjadi akar kehidupan dan melahirkan tunas tunas kecil di kehidupan selanjutnya.

Aku ingin hidup dengan waktu yang lambat denganmu, keluar dari melodi takdir yang penuh tipu daya.

Aku ingin menjadi kita, kita bukan untuk mereka tapi kita untuk engkau, aku dan Sang Pencipta.



       Hanya dengan sedikit senyuman siapapun akan terlihat lebih kuat.

Sebetulnya aku tak ingin peduli lagi atas semua pelipur lara yang di ciptakan di  permukaan kehidupan ini.

Bagiku, bola matamu yang menari penuh sayu telah menjadi peta di perjalananku.

Di belahan manapun engkau akan pergi, akan selalu ada sayap sayap angin membawa syair laraku untukmu.

Burai pipimu sudah tak mampu lagi terbendung dalam nuraniku, ku tapaki langkah demi selangkah hanya untuk menghapusnya tapi ia tetap abadi, tetap bersemayam dan bersembunyi menunggu sampai matahari terbit dari laut merah.



      Jika hidup ini memang naif, aku bahkan ingin lebih dari itu.

Aku hanya ingin sedikit senyum datar dari wajahku.

Menjadi musafir sesepi ini benar benar menyakitkan.

Dunia ini tak pernah tahu bagaimana takdir memperlakukan kita begitu menyedihkan.

Saat semua sudah menjadi indah, ada yang harus mundur demi mengatur langkah untuk tetap bertahan hidup.

Bergemalah dan berteriaklah kepada dunia yang sudah tua ini khair, sampaikan padanya bahwa umurku dan umurnya tidak mungkin terpaut seribu tahun.

Aku dan dunia ini akan mati bersama atas kepedihan hatimu.

Maafkan aku jika selama ini benar benar sudah terlalu melelahkan cintamu....!!!


 Aku selalu berharap kenangan ini bisa tergantikan oleh hujan, meski hujan takkan pernah mampu menyembunyikan air mata karena perpisahan.....!!!!

Tidak ada komentar: