Entri Populer

Sabtu, 09 Januari 2016

RUMAH TAK PERNAH SAMA


     
        Nafas pertama, di bawah lentera redup dalam bilik kecil. Riuh gemuruh suara suara khawatir di balik tirai usang. Menahan nafas, memanjatkan do'a, bersenandung suka cita untuk menyambut wajah baru.
Kabut dingin telah membalut bumi dengan rapat. Kain lusuh, pakaian kumal dan peci memudar menjadi penghangat kerinduan yang berkepanjangan.

      Waktu berlalu, namun tak seperti sebelumnya. Berjalan pelan, menggelinding seperti matahari sedang bermain petak umpet di balik awan. Petuah leluhur sudah menjamur untuk keselamatan jiwa mungil yang baru. Rumah yang di janjikan Tuhan telah di tepati. Tak bergeser sedikitpun, sejengkal darah hanya isyarat untuk menyempurnakan kedatangan. Papan lapuk menjadi saksi, betapa debaran jantung dan ketegangan urat nadi telah sampai pada batasnya.
Menunggu teriakan menggema. Isyarat yang menyampaikan telah lahir pemegang janji yang akan di mintai pertanggung jawaban kelak nanti.

      Hidup tak akan sempurna. Kemanapun mata memandang selalu ada batas nalar yang menjadi buih terakhir untuk sebuah harapan. Saat leher mulai bergerak, mata ibu satu satunya lukisan tak ternilai. Ketika tubuh perlahan merangkak, tangan ayah menjadi jembatan pelangi tak tergantikan. Kemudian kaki mampu berjalan, pergi, menghilang, datang, lalu berlari meninggalkan kenangan puluhan tahun silam. Di sini hidup, di sana hidup dan hidup selalu seperti itu.


      Darah panas mengalir deras dalam setiap rongga tubuh. Tak banyak pilihan terlewatkan tanpa rasa yang menggebu gebu. Sudut mata selalu tajam menerima petunjuk kebaikan. Entah sampai kapan menipu diri dari kebenaran.


      Jauh, membawa diri untuk jawaban  teka teki yang sederhana. Pergulatan suara hati tak mampu terbendung lagi. Tersenyum pada kenikmatan semu dalam setiap langkah kaki. Mengejar bayang bayang kebebasan, meremas setiap kepedihan yang datang mencoba menggoyahkan. Hanya satu, hanya demi sebuah PENGAKUAN.


      Oh alangkah, semua memang sudah seharusnya. Hitam putih perjalanan telah menjadi buku tua penuh makna. Waktu terus berlanjut. Impian yang menjanjikan seringkali menjadi abu abu dan tak tentu arah. Semangat yang menggigih tak luput pula dari kepasrahan yang menyedihkan. Mestinya tak pernah ada penyesalan, sepatutnya isyarat pengorbanan tak menjadi sia sia belaka. Seperti itulah sandiwara seorang musafir.


      Wajah tak seperti dulu lagi. Ada dosa dan pahala yang menghiasinya. Tangan tak lagi dingin, pengalaman hidup telah menghangatkannya sampai ke ujung jemari. Cinta yang baru datang silih berganti, menggoda akal sehat untuk berpaling dari cinta pertama. Ada banyak warna yang menyesatkan tujuan perjalanan. Dari rintik pujian sampai derasnya penghinaan sudah cukup menggoyahkan kepercayaan. Hidup selalu mengajarkan kebaikan, rasa yang peka pasti tak akan tersesat.

      Katakanlah, tanah asing tak akan pernah sama tanah kelahiran. Kibaran rasa kasih tak bisa sama. Seringkali ada bumbu pahit yang tersembunyi di balik senyum ramah. Jika persimpangan sudah mengkhianati rasa rindu, kemewahan pun sama sekali bukan obat lara hati. Menanggung getirnya peristiwa sendiri, benar benar meluluhkan impian hidup. Hanya saja, antara melambaikan tangan dan menggenggam asa, menyambut cinta selalu lebih dari segalanya.


      Jalan pulang selalu terbuka. Rumah kelahiran tak pernah tertutup pintunya. Sampai kemanakah mengejar dunia, jika semua telah menjadi gelap gulita. Rajam kepedihan berkali kali menusuk, mengusik bahtera megah angan angan.
Bukan hal lain, antara menabur bunga di atas pusara dan menyanyikan kidung berkabung, hidup terasa membelakangi kisah yang seharusnya.

     
      Maafkanlah untuk semua kemudahan yang membentuk cinta secara singkat, lambaikanlah kedipan mata, pesan terakhir untuk semua pengganggu tidur panjang di alam sana nanti.


        Jika tujuan sudah tak pernah tampak lagi, saat kepalan tangan mulai renggang atas genggamannnya, kembalilah. Kembali dan temui penyejuk jiwa dan kalbumu. Peluk erat, bersimpuh, bersujud di kakinya membayar atas kesalahan di masa lalu. Waktu selalu tak pernah menoleh, memenuhi ikrar terakhir adalah balasan yang cukup setimpal untuk semua pengorbanan mereka...!!!