Entri Populer

Senin, 12 September 2016

LELAKI FASIK

Lelaki yang sedang mabuk.
Ia benamkan wajahnya ke tanah dan memohon kesadaran,
untuk pulang, untuk kembali ke jalannya semula.
Perangai wanita yang seperti anggur tua di semai oleh musin dingin berkepanjangan,
lalu musim semi datang menghangatkan segala bentuk rupanya,
kemudian ia menawarkannya kepada lelaki.
Sungguh tipu daya...

Lalu...

Lelaki letakkan bahunya di atas telapak tangan wanita, larut dalam pangkuan.
Lantas wanita tersenyum, terharu, dan memuja dengan penuh pesona.
Lalaki berpuas hati, mengartikan diri sedatar akar yang baru saja keluar dari padang tandus.
Lelaki membakar seluruh urat urat semangatnya, menerima sampul kemenangan atas apa wanita perlihatkan kepadanya.
Kemudian lelaki berjanji,
"Akan ku simpan hidupmu di atas hidupku, kepentinganmu akan menjadi tujuanku, kemalanganmu adalah kutukan bagiku, percayalah hai wanitaku.."
Namun hanya balasan isyarat, seulas senyuman di bawah kedipan lentik mata wanita.


Rasa yang yang begitu mempesona.
Meski wanita selalu tak pernah datang,
Walau sekalipun langkanya tak pernah tertuju kepada lelaki,
Hanya isyarat, ya hanya dengan isyarat wanita menjadi permata di hadapan lelaki pendulang kemewahan.


Wanita memang pelakon yang hebat,
Ribuan jam wanita menyembunyikan lidah dan rupanya yang sebenarnya dari lelaki. Menari dan memerdukan suara untuk melodi kefasikan lelaki.
Kemudian ia bentangkan keinginan keinginannya dengan begitu halus.


Lelaki berbisik, "sabarlah hai wanitaku. Keringatku belum tercurah deras, tulang tulangku masih kuat melawan dunia.
Akan ku buatkan permadani untukmu di atas air mataku.."
Wanita menyimpan suara bisikan itu dalam hati. Girang bagaikan gembala sedang melihat dombanya melahirkan ratusan ekor anak.
Dengan gemulai wanita menyentuh ubun ubun lelaki, merebakkan aroma bunga yang sungguh memabukkan.


Renda biru, bergantungan memupus harapan. Wanita berdiri di seberang hulu jalan,

Kala lelaki tak kunjung menepati janji,

Di saat lelaki hampir tenggelam oleh air mata demi permadani untuk wanitanya,

Ketika lelaki berjalan tertatih, pakain kumal dan wajah kusam karena sengatan matahari,

Wanita menjadi lumbung pengkhianatan,
Wanita memadu seribu alasan untuk pergi,
Wanita menatap sinis, membalikkan badan, lalu melambaikan tangan,,

" SELAMAT TINGGAL LELAKI BODOH...!!! "







DIA AKAN DATANG

Dia menungguku.
Seperti biasa aku terlebih dahulu membersihkan noda-noda di bajuku, menyisir rambut dan merapikan lidahku yang seringkali kaku di depannya. Bertemu dengaannya adalah suatu kegilaan yang begitu nikmat, betapa memang rasa tak pernah menipu raga.

Sangat sering semuanya tidak sebaik yang aku siapkan untuk bertemu dengannya. Ada yang aku lupa dan aku fikir bunga terlalu serius untuk pria sepertiku. Gairahku tak pernah redup sedikitpun, rupanya jarak sangat baik menjaganya. Dia tak jauh, juga tak cukup dekat untuk aku rengkuh. Ini semacam ilusi, sungguh memabukkan.

Meski aku tak selalu mejadi pendengar yang baik di depannya, namum aku tahu dia punya ingatan yang cukup buruk, tak bisa menunggu lama, penyuka kucing persia, seorang yang senang berlama-lama di dapur dan dia seseorang yang di penuhi kasih meluap-luap. Karena kebiasaan, aku menghafal itu di luar kepala.

Taman sudah banyak menguping pembicaraanku dengannya. Sore ini adalah kesebelas kalinya untuk merekam senyum dan mata sayunya di hadapanku. Biarkanlah, dunia ini bebas memilih siapa yang akan menjadi indah dipenuhi getaran asmara.

Aku menunggunya, bangku yang dingin ini akan segera hangat setelah dia datang. Saat ini aku tak perlu gelisah mengingat puisi yang aku tulis untuknya, sesuatu lebih serius dari sebuah kata telah membakar keinginanku. Aku akan di sini, meski semua melambat, aku tetap di sini menunggunya.

Setengah jam...!!!

Satu jam...!!!

Senja nan lembut tak pernah takluk pada siapapun, aku tak peduli. Sekelilingku perlahan beranjak menjauh dan menghilang. Petang yang mulai padam bukanlah sebuah godaan yang pantas. Aku tahu, persis tahu bahwa hal besar selalu butuh proses yang dramatis.

Satu jam lagi...!!!

Sama sekali belum apa-apa, aku bisa lebih dari ini. Kurapatkan kakiku, menggesek tanah cokelat di bawah bangku tempatku duduk. Mendekap tangan di dada, aku menoleh ke belakang. "Mungkin dia akan mengejutkanku". Beberapa saat berlalu, masih sama, dan terus berlalu. Angin malam mulai merambat halus di kulit kepalaku, mendesis pelan di bawah telingaku dan tak terbayangkan betapa aku menikmati proses ini.

Malam yang penuh bijak, cahaya redup rembulan memancar di sela pohon akasia, suara hewan melata bersiul sesekali menyegarkan ingatanku. Sepuluh kali aku bersamanya dalam pertemuan yang tak terperikan bahagianya, memotong kuku tanganku jika sudah tak rapi, menyapu punggungku yang berdebu dan kadang membuatku takjub saat dia menceritakan betapa lucunya kucing persia itu.

Waktu berlalu banyak...!!!

Sangat aku sesali ingatanku sedikit demi sedikit buyar, mataku mulai sayu dan tubuhku kaku digerogoti rasa haus. Damai, senyap tanpa beban, tak ada ingatan apapun lagi. Malam adalah selimut paling tua, saksi berbagai kisah kelam di tanah perselisihan. Aku berlalu dengan selimut tua itu. Dia akan datang, aku tahu pasti..

Senin, 22 Februari 2016

Batas selat malaka

Di tanjung pelepas, para penakluk samudera saling berpapasan.
Selat malaka yang tak pernah sepi, berentetan armada terapung dengan kemilauan cahaya megah, setiapnya menuju haluan masing masing.
Tak peduli angin berhembus hebat,  gulungan putih melintang sepanjang cakrwala langit, cahaya cahaya itu tetap menerobos pekatnya badai.
Rindu mereka kepada suara suara kecil di tempat peraduan, adalah nyawa terakhir yang tidak akan roboh begitu saja. Mereka adalah pejuang, penguasa, petualang serta pengemis kebahagiaan, dan mereka tidak akan berhenti sampai langit menutup samudera dengan jubah akhir zaman.


Tapi aku masih di sini Khair, meliuk liuk gemulai menghitung dengan cermat kebohonganku.
Di batas semananjung, di antara selat tanah harapan yang selalu penuh sejarah. Aku ingin berbicara kepadamu, mendengarkanku dengan jujur serta mempercayaiku seadanya.
Waktu yang terus berlalu, telah membuang harga diriku seperti sampah.
Hanya seutas benang yang ia sisakan dan aku ingin engkau menyulamnya menjadi sebaris ukiran pembuktian.

Ambang alur merengsek menepi, menutup batas batas merah kesabaran.
Berjalan pelan, kemudian para pelayar itu menggemakan terompet keagungan.
Jalan menjadi lapang, tabir menyingkap semua rahasia kegelapan untuknya.
Pengayuh kecil mulai bergerak mundur, hanya pasrah dan mata hampir meneteskan linangan air yang sudah di ujung kemalangan.
Andai saja, pengayuh kecil itu hidup sendiri,
Andai saja pengayuh kecil itu tidak mencintai keluarga dan Tuhannya,
Andai saja pengayuh kecil itu membenci kehidupan,
Andai saja, andai saja....


Saat ini engkau membuatku tersenyum berlebihan Khair.
Tapi aku mengerti bahwa setelah engkau ada di fikiranku, aku sendirilah yang akan mengurusnya.
Engkau bukanlah sesuatu yang bisa kumiliki dengan sebuah usaha.
Sama sekali tidak seperti itu.
Jika engkau bisa mendengarku, katakanlah bahwa engkau tidak pernah takut mati Khair.
Aku tidak ingin engkau seperti mereka yang takut mati.
Takut karena setelah mereka pergi dunia ini akan melupakannya.
Tapi percayalah, aku tidak akan berdiri di jalan yang sama dengan mereka, meski dunia telah mengubur jauh namamu.


Matahari sedang merona, menjingga sesukanya dan memoles awan penuh semangat di ujung barat.
Langit akan menjadi sepi, gemintang dan kabut tak akan pernah mampu menghiburnya.
Garis pantai mengering, pukat yang membentang telah tergulung kembali.
Wajah keadilan kini mulai pudar.
Menara kemanusiaan yang hilang selalu saja penuh misteri.
Seperti itulah hukum alam sejak dulu.

Jika harus jujur, aku ingin merpendek jarak selangkah demi selangkah denganmu.
Tapi bila engkau tetap ingin pergi maka aku akan membiarkanmu pergi melalui semua pintu di dunia.
Di manapun engkau berada, aku akan tetap berdiri di belakangmu...!!!



Sabtu, 09 Januari 2016

RUMAH TAK PERNAH SAMA


     
        Nafas pertama, di bawah lentera redup dalam bilik kecil. Riuh gemuruh suara suara khawatir di balik tirai usang. Menahan nafas, memanjatkan do'a, bersenandung suka cita untuk menyambut wajah baru.
Kabut dingin telah membalut bumi dengan rapat. Kain lusuh, pakaian kumal dan peci memudar menjadi penghangat kerinduan yang berkepanjangan.

      Waktu berlalu, namun tak seperti sebelumnya. Berjalan pelan, menggelinding seperti matahari sedang bermain petak umpet di balik awan. Petuah leluhur sudah menjamur untuk keselamatan jiwa mungil yang baru. Rumah yang di janjikan Tuhan telah di tepati. Tak bergeser sedikitpun, sejengkal darah hanya isyarat untuk menyempurnakan kedatangan. Papan lapuk menjadi saksi, betapa debaran jantung dan ketegangan urat nadi telah sampai pada batasnya.
Menunggu teriakan menggema. Isyarat yang menyampaikan telah lahir pemegang janji yang akan di mintai pertanggung jawaban kelak nanti.

      Hidup tak akan sempurna. Kemanapun mata memandang selalu ada batas nalar yang menjadi buih terakhir untuk sebuah harapan. Saat leher mulai bergerak, mata ibu satu satunya lukisan tak ternilai. Ketika tubuh perlahan merangkak, tangan ayah menjadi jembatan pelangi tak tergantikan. Kemudian kaki mampu berjalan, pergi, menghilang, datang, lalu berlari meninggalkan kenangan puluhan tahun silam. Di sini hidup, di sana hidup dan hidup selalu seperti itu.


      Darah panas mengalir deras dalam setiap rongga tubuh. Tak banyak pilihan terlewatkan tanpa rasa yang menggebu gebu. Sudut mata selalu tajam menerima petunjuk kebaikan. Entah sampai kapan menipu diri dari kebenaran.


      Jauh, membawa diri untuk jawaban  teka teki yang sederhana. Pergulatan suara hati tak mampu terbendung lagi. Tersenyum pada kenikmatan semu dalam setiap langkah kaki. Mengejar bayang bayang kebebasan, meremas setiap kepedihan yang datang mencoba menggoyahkan. Hanya satu, hanya demi sebuah PENGAKUAN.


      Oh alangkah, semua memang sudah seharusnya. Hitam putih perjalanan telah menjadi buku tua penuh makna. Waktu terus berlanjut. Impian yang menjanjikan seringkali menjadi abu abu dan tak tentu arah. Semangat yang menggigih tak luput pula dari kepasrahan yang menyedihkan. Mestinya tak pernah ada penyesalan, sepatutnya isyarat pengorbanan tak menjadi sia sia belaka. Seperti itulah sandiwara seorang musafir.


      Wajah tak seperti dulu lagi. Ada dosa dan pahala yang menghiasinya. Tangan tak lagi dingin, pengalaman hidup telah menghangatkannya sampai ke ujung jemari. Cinta yang baru datang silih berganti, menggoda akal sehat untuk berpaling dari cinta pertama. Ada banyak warna yang menyesatkan tujuan perjalanan. Dari rintik pujian sampai derasnya penghinaan sudah cukup menggoyahkan kepercayaan. Hidup selalu mengajarkan kebaikan, rasa yang peka pasti tak akan tersesat.

      Katakanlah, tanah asing tak akan pernah sama tanah kelahiran. Kibaran rasa kasih tak bisa sama. Seringkali ada bumbu pahit yang tersembunyi di balik senyum ramah. Jika persimpangan sudah mengkhianati rasa rindu, kemewahan pun sama sekali bukan obat lara hati. Menanggung getirnya peristiwa sendiri, benar benar meluluhkan impian hidup. Hanya saja, antara melambaikan tangan dan menggenggam asa, menyambut cinta selalu lebih dari segalanya.


      Jalan pulang selalu terbuka. Rumah kelahiran tak pernah tertutup pintunya. Sampai kemanakah mengejar dunia, jika semua telah menjadi gelap gulita. Rajam kepedihan berkali kali menusuk, mengusik bahtera megah angan angan.
Bukan hal lain, antara menabur bunga di atas pusara dan menyanyikan kidung berkabung, hidup terasa membelakangi kisah yang seharusnya.

     
      Maafkanlah untuk semua kemudahan yang membentuk cinta secara singkat, lambaikanlah kedipan mata, pesan terakhir untuk semua pengganggu tidur panjang di alam sana nanti.


        Jika tujuan sudah tak pernah tampak lagi, saat kepalan tangan mulai renggang atas genggamannnya, kembalilah. Kembali dan temui penyejuk jiwa dan kalbumu. Peluk erat, bersimpuh, bersujud di kakinya membayar atas kesalahan di masa lalu. Waktu selalu tak pernah menoleh, memenuhi ikrar terakhir adalah balasan yang cukup setimpal untuk semua pengorbanan mereka...!!!