Entri Populer

Senin, 22 Februari 2016

Batas selat malaka

Di tanjung pelepas, para penakluk samudera saling berpapasan.
Selat malaka yang tak pernah sepi, berentetan armada terapung dengan kemilauan cahaya megah, setiapnya menuju haluan masing masing.
Tak peduli angin berhembus hebat,  gulungan putih melintang sepanjang cakrwala langit, cahaya cahaya itu tetap menerobos pekatnya badai.
Rindu mereka kepada suara suara kecil di tempat peraduan, adalah nyawa terakhir yang tidak akan roboh begitu saja. Mereka adalah pejuang, penguasa, petualang serta pengemis kebahagiaan, dan mereka tidak akan berhenti sampai langit menutup samudera dengan jubah akhir zaman.


Tapi aku masih di sini Khair, meliuk liuk gemulai menghitung dengan cermat kebohonganku.
Di batas semananjung, di antara selat tanah harapan yang selalu penuh sejarah. Aku ingin berbicara kepadamu, mendengarkanku dengan jujur serta mempercayaiku seadanya.
Waktu yang terus berlalu, telah membuang harga diriku seperti sampah.
Hanya seutas benang yang ia sisakan dan aku ingin engkau menyulamnya menjadi sebaris ukiran pembuktian.

Ambang alur merengsek menepi, menutup batas batas merah kesabaran.
Berjalan pelan, kemudian para pelayar itu menggemakan terompet keagungan.
Jalan menjadi lapang, tabir menyingkap semua rahasia kegelapan untuknya.
Pengayuh kecil mulai bergerak mundur, hanya pasrah dan mata hampir meneteskan linangan air yang sudah di ujung kemalangan.
Andai saja, pengayuh kecil itu hidup sendiri,
Andai saja pengayuh kecil itu tidak mencintai keluarga dan Tuhannya,
Andai saja pengayuh kecil itu membenci kehidupan,
Andai saja, andai saja....


Saat ini engkau membuatku tersenyum berlebihan Khair.
Tapi aku mengerti bahwa setelah engkau ada di fikiranku, aku sendirilah yang akan mengurusnya.
Engkau bukanlah sesuatu yang bisa kumiliki dengan sebuah usaha.
Sama sekali tidak seperti itu.
Jika engkau bisa mendengarku, katakanlah bahwa engkau tidak pernah takut mati Khair.
Aku tidak ingin engkau seperti mereka yang takut mati.
Takut karena setelah mereka pergi dunia ini akan melupakannya.
Tapi percayalah, aku tidak akan berdiri di jalan yang sama dengan mereka, meski dunia telah mengubur jauh namamu.


Matahari sedang merona, menjingga sesukanya dan memoles awan penuh semangat di ujung barat.
Langit akan menjadi sepi, gemintang dan kabut tak akan pernah mampu menghiburnya.
Garis pantai mengering, pukat yang membentang telah tergulung kembali.
Wajah keadilan kini mulai pudar.
Menara kemanusiaan yang hilang selalu saja penuh misteri.
Seperti itulah hukum alam sejak dulu.

Jika harus jujur, aku ingin merpendek jarak selangkah demi selangkah denganmu.
Tapi bila engkau tetap ingin pergi maka aku akan membiarkanmu pergi melalui semua pintu di dunia.
Di manapun engkau berada, aku akan tetap berdiri di belakangmu...!!!



Tidak ada komentar: